Alat Musik Kecapi
Kacapi merupakan alat musik Sunda yang dimainkan sebagai alat musik utama dalam Tembang Sunda atau Mamaos Cianjuran dan kacapi suling.
Kata kacapi dalam bahasa Sunda juga merujuk kepada tanaman sentul, yang dipercaya kayunya digunakan untuk membuat alat musik kacapi.
Menurut fungsinya dalam mengiringi musik, kacapi dimainkan sebagai:
1. Kacapi indung atau kacapi induk
2. Kacapi rincik atau kacapi anak
Kacapi indung
Kacapi indung memimpin musik dengan cara memberikan intro, bridges, dan interlude, juga menentukan tempo. Untuk tujuan ini, digunakan sebuah kacapi besar dengan 18 atau 20 dawai.
[sunting] Kacapi rincik
Kacapi rincik memperkaya iringan musik dengan cara mengisi ruang antar nada dengan frekuensi-frekuensi tinggi, khususnya dalam lagu-lagu yang bermetrum tetap seperti dalam kacapi suling atau Sekar Panambih. Untuk tujuan ini, digunakan sebuah kacapi yang lebih kecil dengan dawai yang jumlahnya sampai 15.
Kacapi parahu adalah suatu kotak resonansi yang bagian bawahnya diberi lubang resonansi untuk memungkinkan suara keluar. Sisi-sisi jenis kacapi ini dibentuk sedemikian rupa sehingga menyerupai perahu. Di masa lalu, kacapi ini dibuat langsung dari bongkahan kayu dengan memahatnya.
Kacapi siter merupakan kotak resonansi dengan bidang rata yang sejajar. Serupa dengan kacapi parahu, lubangnya ditempatkan pada bagian bawah. Sisi bagian atas dan bawahnya membentuk trapesium.
Untuk kedua jenis kacapi ini, tiap dawai diikatkan pada suatu sekrup kecil pada sisi kanan atas kotak. Mereka dapat ditala dalam berbagai sistem: pelog, sorog/madenda, atau salendro.
Saat ini, kotak resonansi kacapi dibuat dengan cara mengelem sisi-sisi enam bidang kayu.
Sebagaimana telah disampaikan di muka bahwa kacapi indung (dulu disebut kacapi pantun atau kacapi parahu) adalah produk budaya lama yang pada awalnya digunakan dalam pantun Sunda. Pantun Sunda dapat diperkirakan sudah lahir sebelum abad ke-15 M. Dalam naskah kuno Sanghiyang Siksa Kandang Karesian (1518) yang dikutip oleh Nia Dewi Mayakania, istilah pantun sudah disebutkan, yaitu dengan ungkapan sebagai berikut: "hayang nyaho di pantun ma: Langgalarang, Banyakcatra, Siliwangi, Haturwangi: prepantun tanya" (bila ingin mengetahui pantun: Langgalarang, Banyakcatra, Siliwangi, Haturwangi: tanyalah juru pantun) (Mayakania, 1993: 62). Dapat diduga jenis kesenian ini sudah ada sebelum abad ke-15 Masehi.
Hingga saat ini, belum ada yang mencoba menggali nilai-nilai yang tersembunyi di balik kacapi indung, baik dari segi wujud dan bentuk kacapi indung itu sendiri maupun dari segi simbol-simbol yang terkait dengan peranan musikalitasnya.
Pada umumnya, kacapi indung hanya dikenal sebagai alat musik yang berfungsi untuk mengiringi vokal tembang sunda cianjuran. Padahal, dari bentuk dan wujudnya saja ada hal yang patut dipertanyakan. Mengapa wujud dan bentuk kacapi indung berbeda dari kacapi siter. Kemudian mengapa kacapi indung umumnya berwarna hitam, dan mengapa pula disebut kacapi indung. Pada awalnya, kacapi indung yang juga biasa disebut sebagai kacapi parahu, kacapi gelung, atau kacapi pantun, digunakan pada penyajian pantun untuk mengiringi lagu-lagu yang dibawakan oleh juru pantun.
Namun, karena tembang sunda cianjuran itu sendiri diduga berasal dari pantun maka kacapi pantun (yang sekarang ini lebih dikenal dengan sebutan kacapi indung) digunakan sebagai salah satu instrumen untuk mengiringi lagu-lagu tembang sunda cianjuran.
Dalam penyajian tembang sunda cianjuran, kacapi indung memiliki peranan yang sangat dominan. Kacapi indung berperan sebagai pemberi rasa laras terhadap penembang (melalui tabuhan narangtang); berperan sebagai pemberi aba-aba terhadap penembang; berperan sebagai penuntun lagu; dan berperan juga sebagai pembawa irama lagu (melalui lagu-lagu panambih).
Lahirnya istilah kacapi indung diperkirakan setelah kecapi ini digunakan dalam konteks tembang sunda cianjuran. Ketika kecapi ini digunakan dalam pantun, tidak dikenal istilah kacapi indung, dan masyarakat Sunda menyebutnya dengan istilah kacapi pantun atau kacapi parahu. Berubahnya nama jenis kecapi ini --yang semula bernama kacapi pantun atau kacapi parahu kemudian menjadi kacapi indung-- sangat terkait dengan peranan dari kecapi itu sendiri yang seolah berperan sebagai ibu.
Dalam konteks kehidupan masyarakat Sunda, peranan seorang ibu sangat besar, di antaranya sebagai pengatur ekonomi rumah tangga, pembimbing anak-anak, dan pendamping/pendorong bagi kemajuan suaminya. Oleh karena itu, dalam konsep pemikiran orang Sunda, kedudukan seorang ibu sangat dihormati, dan karena kedudukannya ini maka perempuan dimitoskan sebagai "penguasa" seperti tampak pada mitos Dewi Sri dan Sunan Ambu.
Masyarakat Sunda lama (pramodern) yang mata pencahariannya berladang memiliki pola berpikir dualisme secara paradoks. Dari pola berpikir dualisme yang paradoks ini melahirkan konsep berpikir pola tiga yang dapat dibuktikan melalui artefak-artefak budaya Sunda, seperti tampak pada bentuk kujang, bangunan rumah, letak sungai, dan sebagainya. Melihat fenomena seperti ini, penulis merasa tertarik untuk mencoba melihat apakah kacapi indung khususnya, dan tembang sunda cianjuran umumnya, juga dapat mencerminkan pola tiga?
Silogisme
Sebagaimana telah disampaikan di muka bahwa kacapi indung (dulu disebut kacapi pantun atau kacapi parahu) adalah produk budaya lama yang pada awalnya digunakan dalam pantun Sunda. Pantun Sunda dapat diperkirakan sudah lahir sebelum abad ke-15 M. Dalam naskah kuno Sanghiyang Siksa Kandang Karesian (1518) yang dikutip oleh Nia Dewi Mayakania, istilah pantun sudah disebutkan, yaitu dengan ungkapan sebagai berikut: "hayang nyaho di pantun ma: Langgalarang, Banyakcatra, Siliwangi, Haturwangi: prepantun tanya" (bila ingin mengetahui pantun: Langgalarang, Banyakcatra, Siliwangi, Haturwangi: tanyalah juru pantun) (Mayakania, 1993: 62). Dapat diduga jenis kesenian ini sudah ada sebelum abad ke-15 Masehi.
Oleh karena pantun Sunda sudah lahir sejak sebeum abad ke-15 Masehi, maka kacapi parahu termasuk produk budaya Sunda lama yang kelahirannya tidak jauh berbeda dari pantun. Pada masa sekitar abad ke-15, masyarakat Sunda hidup dengan cara berladang. Masyarakat ladang hidup dengan menanam, memelihara, dan mengembangkan padi dan tanaman lainnya. Menurut Jakob Sumardjo, obsesi masyarakat ladang yaitu "menghidupkan".
Bagaimana kehidupan dapat terus dipelihara? Mereka berusaha mengawinkan pasangan kembar oposisi yang saling bertentangan, tapi saling melengkapi. Dari perkawinan, kehidupan yang baru bisa muncul. Tanaman padi dapat terus hidup kalau ada "perkawinan" antara langit dan bumi. Langit mencurahkan hujannya kepada tanah yang kering. Basah itu asas perempuan dan kering asas lelaki.
Perkawinan antarkeduanya akan menciptakan entitas ketiga, yakni kehidupan di muka bumi. Langit di atas, bumi di bawah, dan kehidupan muncul di tengah-tengah langit dan bumi. Ketiga dunia ini merupakan satu kesatuan yang membuat kehidupan ini tetap ada
Dasar kepercayaan kosmologi manusia peladang ini menjadi landasan cara berpikirnya untuk semua hal, yakni pola tiga. Untuk lebih jelasnya, lihat kutipan berikut ini menurut hasil penelitian Jakob Sumardjo.
Pola tiga bertolak dari kepercayaan dualisme antagonistik segala hal. Misalnya, langit di atas, bumi di bawah; langit basah, bumi kering; langit perempuan, bumi laki-laki; langit terang, bumi gelap. Keduanya terpisah dan berjarak. Pemisahan itu tidak baik karena akan mendatangkan kematian. Pemisahan segala hal yang dualistik antagonistik harus diakhiri, yakni dengan mengawinkan keduanya. Hidup itu dimungkinkan karena adanya harmoni. Syarat hidup adalah adanya harmoni dari dua entitas yang saling bertentangan tetapi saling melengkapi
Untuk memperjelas fokus tulisan ini, maka perlu dibangun silogisme sebagai berikut.
1: Masyarakat ladang adalah masyarakat pramodern yang memiliki dasar pemikiran kosmologis pola tiga.
2: Kacapi pantun atau kacapi indung adalah produk budaya dari masyarakat ladang.
Simpulan: Kacapi pantun atau kacapi indung mengandung dasar pemikiran pola tiga.
Berdasarkan silogisme di atas, maka apakah "pola tiga" sebagai dasar pemikiran masyarakat Sunda pramodern masih tercermin dalam wujud kacapi indung, atau tidak ada.
Kata kacapi dalam bahasa Sunda juga merujuk kepada tanaman sentul, yang dipercaya kayunya digunakan untuk membuat alat musik kacapi.
Menurut fungsinya dalam mengiringi musik, kacapi dimainkan sebagai:
1. Kacapi indung atau kacapi induk
2. Kacapi rincik atau kacapi anak
Kacapi indung
Kacapi indung memimpin musik dengan cara memberikan intro, bridges, dan interlude, juga menentukan tempo. Untuk tujuan ini, digunakan sebuah kacapi besar dengan 18 atau 20 dawai.
[sunting] Kacapi rincik
Kacapi rincik memperkaya iringan musik dengan cara mengisi ruang antar nada dengan frekuensi-frekuensi tinggi, khususnya dalam lagu-lagu yang bermetrum tetap seperti dalam kacapi suling atau Sekar Panambih. Untuk tujuan ini, digunakan sebuah kacapi yang lebih kecil dengan dawai yang jumlahnya sampai 15.
Kacapi parahu adalah suatu kotak resonansi yang bagian bawahnya diberi lubang resonansi untuk memungkinkan suara keluar. Sisi-sisi jenis kacapi ini dibentuk sedemikian rupa sehingga menyerupai perahu. Di masa lalu, kacapi ini dibuat langsung dari bongkahan kayu dengan memahatnya.
Kacapi siter merupakan kotak resonansi dengan bidang rata yang sejajar. Serupa dengan kacapi parahu, lubangnya ditempatkan pada bagian bawah. Sisi bagian atas dan bawahnya membentuk trapesium.
Untuk kedua jenis kacapi ini, tiap dawai diikatkan pada suatu sekrup kecil pada sisi kanan atas kotak. Mereka dapat ditala dalam berbagai sistem: pelog, sorog/madenda, atau salendro.
Saat ini, kotak resonansi kacapi dibuat dengan cara mengelem sisi-sisi enam bidang kayu.
Sebagaimana telah disampaikan di muka bahwa kacapi indung (dulu disebut kacapi pantun atau kacapi parahu) adalah produk budaya lama yang pada awalnya digunakan dalam pantun Sunda. Pantun Sunda dapat diperkirakan sudah lahir sebelum abad ke-15 M. Dalam naskah kuno Sanghiyang Siksa Kandang Karesian (1518) yang dikutip oleh Nia Dewi Mayakania, istilah pantun sudah disebutkan, yaitu dengan ungkapan sebagai berikut: "hayang nyaho di pantun ma: Langgalarang, Banyakcatra, Siliwangi, Haturwangi: prepantun tanya" (bila ingin mengetahui pantun: Langgalarang, Banyakcatra, Siliwangi, Haturwangi: tanyalah juru pantun) (Mayakania, 1993: 62). Dapat diduga jenis kesenian ini sudah ada sebelum abad ke-15 Masehi.
Hingga saat ini, belum ada yang mencoba menggali nilai-nilai yang tersembunyi di balik kacapi indung, baik dari segi wujud dan bentuk kacapi indung itu sendiri maupun dari segi simbol-simbol yang terkait dengan peranan musikalitasnya.
Pada umumnya, kacapi indung hanya dikenal sebagai alat musik yang berfungsi untuk mengiringi vokal tembang sunda cianjuran. Padahal, dari bentuk dan wujudnya saja ada hal yang patut dipertanyakan. Mengapa wujud dan bentuk kacapi indung berbeda dari kacapi siter. Kemudian mengapa kacapi indung umumnya berwarna hitam, dan mengapa pula disebut kacapi indung. Pada awalnya, kacapi indung yang juga biasa disebut sebagai kacapi parahu, kacapi gelung, atau kacapi pantun, digunakan pada penyajian pantun untuk mengiringi lagu-lagu yang dibawakan oleh juru pantun.
Namun, karena tembang sunda cianjuran itu sendiri diduga berasal dari pantun maka kacapi pantun (yang sekarang ini lebih dikenal dengan sebutan kacapi indung) digunakan sebagai salah satu instrumen untuk mengiringi lagu-lagu tembang sunda cianjuran.
Dalam penyajian tembang sunda cianjuran, kacapi indung memiliki peranan yang sangat dominan. Kacapi indung berperan sebagai pemberi rasa laras terhadap penembang (melalui tabuhan narangtang); berperan sebagai pemberi aba-aba terhadap penembang; berperan sebagai penuntun lagu; dan berperan juga sebagai pembawa irama lagu (melalui lagu-lagu panambih).
Lahirnya istilah kacapi indung diperkirakan setelah kecapi ini digunakan dalam konteks tembang sunda cianjuran. Ketika kecapi ini digunakan dalam pantun, tidak dikenal istilah kacapi indung, dan masyarakat Sunda menyebutnya dengan istilah kacapi pantun atau kacapi parahu. Berubahnya nama jenis kecapi ini --yang semula bernama kacapi pantun atau kacapi parahu kemudian menjadi kacapi indung-- sangat terkait dengan peranan dari kecapi itu sendiri yang seolah berperan sebagai ibu.
Dalam konteks kehidupan masyarakat Sunda, peranan seorang ibu sangat besar, di antaranya sebagai pengatur ekonomi rumah tangga, pembimbing anak-anak, dan pendamping/pendorong bagi kemajuan suaminya. Oleh karena itu, dalam konsep pemikiran orang Sunda, kedudukan seorang ibu sangat dihormati, dan karena kedudukannya ini maka perempuan dimitoskan sebagai "penguasa" seperti tampak pada mitos Dewi Sri dan Sunan Ambu.
Masyarakat Sunda lama (pramodern) yang mata pencahariannya berladang memiliki pola berpikir dualisme secara paradoks. Dari pola berpikir dualisme yang paradoks ini melahirkan konsep berpikir pola tiga yang dapat dibuktikan melalui artefak-artefak budaya Sunda, seperti tampak pada bentuk kujang, bangunan rumah, letak sungai, dan sebagainya. Melihat fenomena seperti ini, penulis merasa tertarik untuk mencoba melihat apakah kacapi indung khususnya, dan tembang sunda cianjuran umumnya, juga dapat mencerminkan pola tiga?
Silogisme
Sebagaimana telah disampaikan di muka bahwa kacapi indung (dulu disebut kacapi pantun atau kacapi parahu) adalah produk budaya lama yang pada awalnya digunakan dalam pantun Sunda. Pantun Sunda dapat diperkirakan sudah lahir sebelum abad ke-15 M. Dalam naskah kuno Sanghiyang Siksa Kandang Karesian (1518) yang dikutip oleh Nia Dewi Mayakania, istilah pantun sudah disebutkan, yaitu dengan ungkapan sebagai berikut: "hayang nyaho di pantun ma: Langgalarang, Banyakcatra, Siliwangi, Haturwangi: prepantun tanya" (bila ingin mengetahui pantun: Langgalarang, Banyakcatra, Siliwangi, Haturwangi: tanyalah juru pantun) (Mayakania, 1993: 62). Dapat diduga jenis kesenian ini sudah ada sebelum abad ke-15 Masehi.
Oleh karena pantun Sunda sudah lahir sejak sebeum abad ke-15 Masehi, maka kacapi parahu termasuk produk budaya Sunda lama yang kelahirannya tidak jauh berbeda dari pantun. Pada masa sekitar abad ke-15, masyarakat Sunda hidup dengan cara berladang. Masyarakat ladang hidup dengan menanam, memelihara, dan mengembangkan padi dan tanaman lainnya. Menurut Jakob Sumardjo, obsesi masyarakat ladang yaitu "menghidupkan".
Bagaimana kehidupan dapat terus dipelihara? Mereka berusaha mengawinkan pasangan kembar oposisi yang saling bertentangan, tapi saling melengkapi. Dari perkawinan, kehidupan yang baru bisa muncul. Tanaman padi dapat terus hidup kalau ada "perkawinan" antara langit dan bumi. Langit mencurahkan hujannya kepada tanah yang kering. Basah itu asas perempuan dan kering asas lelaki.
Perkawinan antarkeduanya akan menciptakan entitas ketiga, yakni kehidupan di muka bumi. Langit di atas, bumi di bawah, dan kehidupan muncul di tengah-tengah langit dan bumi. Ketiga dunia ini merupakan satu kesatuan yang membuat kehidupan ini tetap ada
Dasar kepercayaan kosmologi manusia peladang ini menjadi landasan cara berpikirnya untuk semua hal, yakni pola tiga. Untuk lebih jelasnya, lihat kutipan berikut ini menurut hasil penelitian Jakob Sumardjo.
Pola tiga bertolak dari kepercayaan dualisme antagonistik segala hal. Misalnya, langit di atas, bumi di bawah; langit basah, bumi kering; langit perempuan, bumi laki-laki; langit terang, bumi gelap. Keduanya terpisah dan berjarak. Pemisahan itu tidak baik karena akan mendatangkan kematian. Pemisahan segala hal yang dualistik antagonistik harus diakhiri, yakni dengan mengawinkan keduanya. Hidup itu dimungkinkan karena adanya harmoni. Syarat hidup adalah adanya harmoni dari dua entitas yang saling bertentangan tetapi saling melengkapi
Untuk memperjelas fokus tulisan ini, maka perlu dibangun silogisme sebagai berikut.
1: Masyarakat ladang adalah masyarakat pramodern yang memiliki dasar pemikiran kosmologis pola tiga.
2: Kacapi pantun atau kacapi indung adalah produk budaya dari masyarakat ladang.
Simpulan: Kacapi pantun atau kacapi indung mengandung dasar pemikiran pola tiga.
Berdasarkan silogisme di atas, maka apakah "pola tiga" sebagai dasar pemikiran masyarakat Sunda pramodern masih tercermin dalam wujud kacapi indung, atau tidak ada.
0 Response to "Alat Musik Kecapi"
Post a Comment