Dulunya
Tari Bonet digelar saat masyarakat suku Dawan hendak meminta perlindungaa kepada Tuhan, agar menjaga kesuburan jagung, makananpokoknya, sampai musim panen berikut. Kini, seiring dengan perkembangan zaman, Tari Bonet yang menggunakan alat bantu pertunjukan berupa lesung dan alu, digelar dalam situasi apa pun, mulai dari pernikahan sampai acara menyambut tamu. Suku Dawan merupakansuku besar di Pulau Timor bagian barat. Tersebar di wilayah administrasi Kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan, dan Timor Tengah Utara.
Oleh masyarakat suku tersebut, tarian ini dipercaya sebagai salah satu khazanah sastra lisan yang masih tersisa di NTT. Selain tiga tarian lainnya, yakni Heta, Tonis, dan Niiii.
Tari Bonet, seperti tarian khas NTT pada umumnya-Lego-Lego di Pulau Alor, Gawi di Pulau Flores-ditarikan dengan cara membentuk lingkaran. Pe-narinya saling bergandengan tangan dan berputar sambil melantunkan pantun dengan syair-syair yang memiliki rimaberulang. Biasanya dipertun-jukkan semalam suntuk.
Bagi suku Dawan, menari dengan membentuk lingkaran sambil bergandengan tangan adalah simbol persatuan dan kesatuan antara tiga subsu-ku Davvan, yakni Amanatun, Amanuban, dan Mollo.
Sampai sekarang tarian ini sudah mulai ditinggalkan, diganti dengan tarian dansa-dansi dengan iringan musik rekaman pop daerah.
Bonet, adalah salah contoh saja dari kekayaan kebudayaan Timor Tengah Selatan (TTS) yang ada dan hidup di hati masyarakat, bukan hadir di atas bebatuan cadas. Masih ada aneka percikan keseniaan dan kebudayaan lainnya. Dari fakta ini, maka para pakar kebudayaan selalu mendefinisikan bahwa kebudayaan adalah sebuah kata kerja, bukan kata benda semata-mata. Sebagai kata kerja, ia sedang berproses, mencipta (kreasi) terus menerus, menghidupkan, mendenyutkan nadi, melantunkan ekspresi, berotasi dari sebuah ujung komunikasi ke ruang komunikasi yang lain dan sebagainya.
Maka manusia sesungguhnya lahir dari selimut kebudayaan. Saat derai tangisan pertama disahut manja sang ibu yang sedang tergolek lemah di sebuah ruang persalinan rumah sakit, saat itu pula komunikasi sudah berlangsung. Komunikasi tanpa kata, tanpa bahasa. Sebuah ungkapan komunikasi hati, komunikasi cinta.
Dari gambaran di atas, kreasi manusia dalam menciptakan kebudayaan adalah untuk mengungkapkan rasa cintanya, hasrat bathinnya, baik kepada manusia, kepada alam, dan yang terutama kepada Tuhan Pencipta semesta alam. Maka Bonet kesenian lokal yang timbul karena ada kekuatan saling menopang dan mempedulikan.
Dengan demikian, dari pelbagai corak yang ada, kebudayaan dimana pun juga di wilayah Nusantara ini hadir untuk memberi topangan pada kerucut atau piramida kebudayaan nasional dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika (berbeda-beda tapi tetap satu jua). Itulah kekayaan, aset, yang tidak bisa dibeli dengan emas atau apapun juga, selain daripada menjaga agar tidak punah. Sebab, kepunahan sebuah kebudayaan (habit) dan kesenian (art) merupakan kecelakaan bagi peradaban itu sendiri.
Peristiwa keajaiban alam seringkali membawa “pesan” yang secara misteri dapat dihayati sebagai ungkapan dan sapaan ilahi (supranatural) bagi manusia yang menerimanya. Alam Timor Tengah Selatan yang gersang dan kering kerontang bisa saja membahasakan pesan-pesan tertentu agar manusia dan alam hidup menyatu dan bersatu padu di bumi nusantara ini.
Lihatlah pelbagai isyarat alam di sekitar kita. Misalnya, ketika musim hujan sudah diambang pintu, ada sekawanan burung yang terbang rendah dri satu kampung ke kampung lainnya seakan menyuarakan kabar kepada petani untuk segera bergegas menyiangi ladangnya yang masih berantakan. Saat Guntur sudah terdengar sayup-sayup di awal bulan Desember, saat itu pula sekelompok burung lainnya terbang dari dahan ke dahan memperdengarkan koor suaranya seakan memuji kebesaran Tuhan. Betapa manusia, alam dan binatang harus hidup dalam bingkai keharmonisan.
Demikian pun saat musim hujan turun dengan lebatnya, ada sekawanan besar kodok yang berada di danau atau dalam kubangan di rumah sekitar kita seakan tertidur lelap, tanpa suara. Tapi ketika hujan berangsur reda, suara kodok bersahut-sahutan, suara “panglima” kodok seakan lebih merdu untuk menuntun paduan suara kokok-kodok lainnya. Betapa indah dan merdu suara-suara itu seakan ada dirigen yang memulainya dan menghentikannya serentak.
Tidak ada yang tahu, apakah suara kodok itu sedang memuji Tuhan, sedang bergembira ria karena kemarau panjang telah berlalu sehingga “ujian kepunahan” telah dilalui, atau menari-nari karena buruan mangsa sudah di depan mata. Isyarat alam memang misteri bagi manusia dan karena itu terkadang sulit mencernanya. Yang pasti, suara alam, suara kodok, dapat menjadi inspirasi bagi manusia untuk sebuah aktivitas kebudayaan. Sebuah gunung api yang meletus, misalnya, dapat dijadikan lagu sentimentalia oleh seorang penggubah lagu karena ia memiliki karunia untuk melihat dan meresapi begitu banyak korban jiwa.
Demikian pula peristiwa suara kodok yang terjadi berulang kali, menimbulkan inspirasi pada orang-orang tertentu (anonim) untuk menirukan suara kodok itu. Nah, di sinilah secara historis awal mula timbulnya tarian Bonet. Sambil bergandengan tangan, mereka menyanyi sambil melangkah mengelilingi danau atau kubangan itu. Setiap malam aktivitas itu dilakukan, tanpa jenuh. Mereka menirukan nyanyian kodok-kodok itu, hingga menjadi suatu kebiasaan yang dianggap sebagai hiburan pelepas lelah di malam hari.
Mereka membentuk lingkaran dan bergandengan tangan, kemudian gerakan-gerakan kaki yang menari secara seragam, bergeser ke kanan laksana bundaran yang berputar mengitari pusatnya. Sementara irama lagu yang diperdengarkan para penari mengikuti derap kaki dalam tarian yang sementara dihayatinya itu. Bait-bait pantun yang diungkapkan pemantun selaku dalang kemudian dinyanyikan bersama-sama. Irama lagu yang dinyanyikan pun singkat dan statis. Sementara pantun-pantun yang diungkapkan oleh para dalang-nya pun bersifat nasihat, jenaka, ejekan, teka-teki. Ungkapan pantun biasanya disesuaikan dengan maksud diadakannya acara yang penuh kegembiraan itu.
Itulah tarian Bonet. Sebuah tarian tradisional masyarakat Timor Tengah Selatan yang paling tua usianya. Atraksi tarian yang dilakukan menirukan suara kodok. Hentakan suara kodok, ritme yang ditata, tarikan napas yang diperdengarkan adalah sehaluan dengan suara kodok itu. Tentu saja bedanya, kodok tidak berbahasa dan berpantun seperti manusia yang memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan alam, dengan sesamanya manusia dan dengan Tuhan Sang Pencipta melalui syair-syair pantun tersebut.
Tarian Bonet dapat diikuti semua orang, baik laki-laki dan perempuan, tua dan muda, tanpa membedakan status sosial. Untuk melakukan tarian Bonet, para penari bergandengan tangan, kecuali di wilayah Amanatun, melipat tangan ke dada dan siku saling bertumpuan. Bentuk tarian yang melingkar mempunyai makna tersendiri. Bentuk tarian yang melingkar mempunyai makna tersendiri. Bentuk bundaran memiliki makna bahwa sesuatu yang bulat itu mempunyai kesatuan dan keutuhan. Di dalam kesatuan dan keutuhan, para penari memiliki kesatuan berpikir, berkata dan berbuat. Segala keberhasilan dan kemenangan yang dicapai di dalam perjuangan merupakan bukti adanya kebulatan hati, kebulatan berpikir, seia-sekata dan keseragaman dalam bertindak dengan segala kemampuan dan kekuatan yang ada secara bersama-sama.
Bonet juga merupakan wadah pancaran pujaan bagi yang diagungkan, yang senantiasa memberi terang dan tuntunan di dalam perjuangan hidup. Para penari yang bergandengan tangan secara ketat juga mengandung makna pula bahwa di dalam lingkaran kehidupan terdapat rasa cinta kasih, hidup dalam kegotong-royongan, saling menolong dalam suka dan duka. Apabila tidak bergandengan tangan, maka masing-masing akan berdiri sendiri, tidak bersatu, arti kemanusiaan akan hilang, tidak bertahan dalam menghadapi tantangan.
Di sini pandangan terhadap sesama adalah sama dan sederajat, bahkan dalam penghayatan lebih dalam, “saya tidak akan hidup dan berguna tanpa engkau dan sebalikanya”. Ini merupakan filosofi kehidupan sebuah masyarakat yang mungkin dapat digali lebih dalam secara ilmiah oleh para pakar kebudayaan.
Antara tarian, pantun dan lagu merupakan satu kesatuan yang saling melengkapi dan mendukung, sehingga tarian Bonet menjadi hidup dan bersemangat. Betapa indahnya mendengar alunan syair-syair pantun yang dilansir secara bergantian dan bersahut-sahutan. Di sini ada unsur kepatuhan, ketelatenan, kesediaan mendengar dan mengapresiasi, kemampuan menganalisa dan menebak isi pantun, disiplin menyanyi dan menjaga barisan, dsbnya. Maka menarik untuk diungkapkan di sini, sebuah gambaran umum sifat/tingkah laku masyarakat Timor Tengah Selatan, bahwa dilihat dai aspek sosial budaya, penduduk masih terikat dalam struktur genelogis yang berpengaruh terhadap sistem kemasyarakatan. Adapun ciri-cirinya adalah: taat, setia, dan panutan.
Kekompakan kelompok tradisionalnya sangat kuat, baik terhadap adat kebiasaan maupun terhadap agama. Kesetiaan terhadap kelompok serta ketaatan dan kepatuhan terhadap pemimpinnya sangat menonjol. Betapapun sederhananya, kelompok masyarakat saling berhubungan, saling memberi dan menerima. Walaupun lambat, namun kelompok-kelompok tetap hidup dan berkembang dengan keinginan untuk maju dan memerlukan tuntunan. Juga karakter lainnya adalah tertutup dalam pengertian bukan terisolir baik tempat maupun pola pikir, tapi dalam konteks bahwa kelompok itu tidak suka mengungkapkan perasaannyakepada siapa saja yang tidak atau belum dipercayainya.
Apa relevansi karakter dasar ini dengan Bonet? Keinginan kelompok untuk saling berhubungan, saling memberi dan menerima, itulah percikan dari komunikasi budaya “mencinta” yang hidup dalam nuansa theater bertutur itu. Lihatlah bagaimana mereka saling berbalas pantun, saling memahami dan mengerti satu dengan lain. Juga lihatlah bagaimana perasaan senasib sepenanggungan ketika menghadapi pelbagai rintangan saat mengapresiasi isi pantun, menganalisa dan membalasnya.
Juga bagaimana mereka saling menopang, merancang lingkaran bersama untuk memulai gerakan tarian. Ibarat sapu lidi yang hanya berfungsi membersihkan lantai jika diikat dalam satu kesatuan, demikian pun mereka seperti merasa tidak ada artinya jika harus berjuang sebatang lidi tanpa kesatuan “lidi-lidi” lainnya.
Demikian dalam tarian ini, ada unsur kebersamaan, kegotong-royongan, saling menghargai dan saling memberi dan menerima, ibarat ringan sama dijinjing, berat sama dipikul. Tidak disangka bahwa dalam konteks tersebut, sadar ataupun tidak, mereka telah masuk dalam bingkai ajaran agama yang bermakna universal, yakni cinta kasih.
Di dalamnya ada pengejawantahan dari hakekat kehidupan yang empaty, yakni ikut menangis renyah dikala teman susah dan ikut derai senang dikala teman bahagia. Itulah puncak tertinggi penghayatan tarian Bonet ini, yang mudah-mudahan tetap lestari abadi. Karena di sana ada cinta, dan cinta itu selalu abadi.