Budaya sintuvu lahir dari masyarakat Kaili

Budaya sintuvu lahir dari masyarakat Kaili

Budaya sintuvu lahir dari masyarakat Kaili ketika menghadapi persoalan-persoalan yang dirasa berat sehingga memerlukan kerja sama atau gotong royong. Prinsip gotong royong dalam masyarakat Kaili dipahami sebagai aktivitas masyarakat yang didasarkan pada nilai-nilai kekeluargaan dan musyawarah (libu) untuk menyelesaikan masalah publik secara bersama-sama demi kepentingan bersama. Proses sintuvu dalam masyarakat Kaili didahului dengan musyawarah (libu) untuk mendapatkan kemufakatan, dari hasil kemufakatan tersebut kemudian dikerjakan dan dipertanggungjawabkan secara bersama-sama.  

Oleh karenanya, sintuvu identik dengan konsep gotong royong sebagai kebudayaan khas Indonesia. Soekarno dalam Safroedin Bahar menegaskan bahwa gotong royong adalah paham yang dinamis, lebih dinamis dari kekeluargaan nilai yang sebenarnya dari budaya sintuvu dalam masyarakat Kaili. 

Nilai-nilai yang dimaksud adalah nilai kekeluargaan dan persatuan pada prinsip nosarara nosabatutu; nilai keterbukaan dan kekeluargaan dalam ada nosibolai,; nilai musyawarah mufakat dan tanggung jawab dalam libu ntodea; serta nilai kekeluargaan, musyawarah, kerja sama, dan harmoni dalam tonda talusi. Identifikasi nilai-nilai yang terkandung dalam budaya kebersamaan yang lahir dan berkembang dalam masyarakat 

Kaili tersebut, dideskripsikan sebagai berikut: 

1. Nosarara nosabatutu (prinsip kekeluargaan dan persatuan) 

Masyarakat Kaili memiliki kearifan budaya lokal tentang kebersamaan diantaranya ajaran nosarara nosabatutu yang mengandung nilai-nilai kekeluargaan dan persatuan dalam kehidupan bermasyarakat. Nosarara nosabatutu artinya persaudaraan dalam wadah tali kasih (Sumber: Hambali). Konsep tentang kebersamaan dalam masyarakat Kaili pada awalnya dimaknai sebagai hubungan kekeluargaan berdasarkan ikatan satu darah (nosarara), sebuah pemahaman bahwa mereka bersaudara karena memiliki ikatan secara geneologis. Hubungan kekeluargaan tersebut disatukan dalam satu wadah yang disebut batutu sehingga melahirkan konsep nosabatutu. 

Prinsip nosarara nosabatutu disinyalir lahir sejak lahirnya masyarakat Kaili yang dikenal dengan sebutan To Kaili. Kelompok sosial dalam masyarakat Kaili pada masa kepemimpinan tradisional diperintah oleh seorang kepala suku disebut Tomalanggai. Pada masa Tomalanggai orang Kaili sudah mengenal prinip-prinsip kebersamaan dalam ajaran nosarara nosabatutu. Ajaran nosarara nosabatutu merupakan prinsip tentang kekeluargaan atau persaudaran dan persatuan masyarakat Kaili yang didasarkan atas hubungan darah.

2. Ada nosibolai (prinsip keterbukaan) 

Masyarakat Kaili adalah masyarakat egaliter yang menerima secara terbuka kehadiran kelompok-kelompok etnik lainnya di Tanah Kaili. Orang Kaili (To Kaili) sangat terbuka terhadap etnik lainnya sejak zaman dahulu, yaitu pada masa kerajaan. Salah satu bentuk keterbukaan masyarakat Kaili ditunjukkan dalam tradisi kawin mawin antaretnik disebut adanosibolai. Tradisi kawin mawin antar etnik tersebut awalnya dilakukan oleh raja dan bangsawan di lingkungan kerajaan kemudian diikuti oleh kalangan masyarakat biasa. Tradisi ada nosibolai pada awalnya merupakan usaha bangsawan di masa lalu untuk menyebarkan keturunannya ke daerah lain dengan cara perkawinan (Melalatoa 1995). Tradisi ini masih berlaku sampai dengan sekarang, baik di lingkungan masyarakat keturunan raja dan bangsawan (magau dan madika) maupun masyarakat biasa (ntodea). Sejak dahulu, tidak ada larangan bagi masyarakat Kaili dalam melangsungkan pernikahan dengan etnik mana pun. Melalui ada nosibolai masyarakat Kaili ingin menunjukkan sifat keterbukaannya dalam menjalin hubungan kekeluargaan dan persaudaraan. Keterbukaaan etnik Kaili melalui ada nosibolai tersebut merupakan salah satu kearifan masyarakat Kaili dalam membangun kebersamaan dengan etnik lainya. 

 3. Libu ntodea (prinsip musyawarah mufakat) 

Musyawarah merupakan salah satu bentuk kearifan masyarakat Kaili dalam menyelesaikan suatu permasalahan secara kekeluargaan untuk mencapai kemufakatan. Musyawarah mufakat lazimnya dilaksanakan oleh orang banyak sehingga disebut libu ntodea. Orang Kaili dikenal memiliki prinsip yang sangat kuat dalam mempertahankan kebenaran, tetapi sekaligus mempunyai sikap mudah berdamai dengan orang lain. Sikap mudah berdamai artinya bahwa orang Kaili menempatkan musyawarah mufakat sebagai cara dalam mengatasi persoalan. Sebab, jika sudah terjadi kemufakatan maka orang Kaili akan menerima dan bertanggung jawab atas hasil kemufakatan tersebut.  

Istilah musyawarah mufakat sesuai penggunaannya dalam masyarakat Kaili disebut dalam beberapa pengertian, yaitu libu (musyawarah), molibu (mengundang orang untuk bermusyawah), dan polibu (tempat bermusyawarah). 

4. Tonda talusi (prinsip harmoni) 

Talusi artinya tiga penyangga (Sumber: Tjatjo Tuan Sjaichu). Tonda talusi merupakan kearifan lokal masyarakat Kaili dalam mewujudkan harmonisasi sebagaisuatu upaya untuk meminimalisir terjadinya konflik. Tonda talusi dalam konteks kebersamaan masyarakat Kaili merupakan sistem nilai yang dibangun atas dasar konsep sintuvu untuk mewujudkan keharmonisan dalam masyarakat. Nilai-nilai yang mendasari tonda talusi adalah kekeluargaan, musyawarah, kerja sama, dan harmoni.  

Tonda talusi adalah filosofi masyarakat Kaili yang menggambarkan hubungan harmonis antara manusia dengan alam semesta, dengan sesama manusia, dan dengan Tuhan. Tonda talusi artinya tiga penyangga (tungku) kehidupan masyarakat Kaili. Prinsip-prinsip kebersamaan dalam falsafah Tonda Talusi, meliputi 3 pilar kehidupan masyarakat Kaili yang dilandasi nilai-nilai kebaikan, yaitu: 1) Matuvu Mosipeili artinya baku lihat, 2) Matuvu Mosiepe artinya baku dengar, 3) Matuvu Mosimpotove artinya baku sayang. Tonda Talusi menggambarkan tiga tungku penyangga kehidupan dalam masyarakat Kaili 


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

0 Response to " Budaya sintuvu lahir dari masyarakat Kaili"

Post a Comment